Wartawan Detikcom Terima Ancaman Pembunuhan Akibat Pemberitaan
On May 28, 2020
Seorang wartawan detikcom diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal. Ancaman itu diterima via WhatsApp (WA), Rabu 27 Mei 2020.
Pihak detikcom dikabarkan sudah melaporkan kasus ancaman pembunuhan terhadap jurnalisnya ini ke Mabes Polri. Mereka meminta pengamanan dari pihak Kepolisian terhadap jurnalisnya itu.
Sebelumnya, beredar kabar ancaman pembunuhan kepada jurnalis detik.com yang laporannya telah masuk Direktorat Siber Polri.
Saat dimintai informasi perihal perkembangan kejadian yang menimpa jurnalisnya, Kepala Human Capital PT Trans Digital Media, Nanang Supriyatna, belum bersedia menjelaskan lebih lanjut perihal tersebut.
“Belum ada perkembangan informasinya sejauh ini. Nanti kami informasikan kembali ya mas,” ungkapny.
Sebelumnya, sumber dari dalam detik.com membenarkan adanya ancaman pembunuhan terhadap salah satu jurnalisnya terkait dengan pemberitaan yang telah viral sejak Selasa kemarin.
Diketahui bahwa, saat ini pihak detik.com telah meminta perlindungan kepada pihak kepolisian meski belum melaporkan secara resmi ancaman pembunuhan tersebut.
“Kami mendesak aparat kepolisian segera mengusut dugaan pelanggaran pidana doxing, kekerasan, maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan,” kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani pada Kamis, 28 Mei 2020 lewat rilis yang diterima VIVA.
Kemudian, Asnil mengatakan AJI Jakarta meminta pemimpin redaksi Detikcom untuk menjamin keselamatan jurnalis dan keluarganya yang terancam karena pemberitaan. Selanjutnya, Dewan Pers harus terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis.
“Menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk ikut menjaga dan mengembangkan kemerdekaan pers. Jika ada sengketa pemberitaan, silahkan diselesaikan dengan cara yang beradab yaitu meminta hak jawab atau melapor ke Dewan Pers,” ujarnya.
Asnil menjelaskan kronologi kasus tersebut, yakni bermula ketika jurnalis Detikcom menulis berita tentang rencana Presiden Jokowi akan membuka mal di Bekasi saat pandemi COVID-19. Informasi tersebut berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Namun, pernyataan Kasubbag itu diluruskan oleh Kabag Humas Pemerintah Kota Bekasi yang menyebut bahwa Presiden Jokowi hanya meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
“Klarifikasi itu pun telah dipublikasi Detikcom dalam bentuk artikel,” jelas dia.
Nah, kekerasan terhadap penulis berita dimulai di media sosial. Nama penulis yang tercantum di dalam berita pun menyebar lewat internet, dari Facebook hingga Youtube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris.
Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. Selain itu, Situs Seword juga melakukan hal serupa dengan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.
“Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet tujuannya menyerang dan melemahkan seseorang, atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers,” katanya.
Selain itu, Asnil mengatakan jurnalis tersebut juga mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojol yang membawa makanan kepadanya. Padahal, ia tak memesan makanan melalui aplikasi. Bahkan, jurnalis tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui pesan WhatsApp.
“Tampaknya pemberitaan yang tak sepaham dengan narasi pemerintah menjadi sasaran penyerangan. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” ucapnya.
Dalam Pasal 4 ayat 1-3 menjelaskan, salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Yang menghambat atau menghalangi maupun penyensoran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi. Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui mediasi.
Dalam rilis yang diterima VIVA, dijelaskan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Dewan Pers adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi pada media massa.
“Imbauan ini menjadi penting karena sejak Selasa 26 Mei 2020 lalu terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan Detikcom yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo. Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh,” kata Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut.
Kasus ini bermula ketika Detikcom menurunkan berita tentang rencana Jokowi membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi COVID-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB.
Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya. Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya. Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp.
Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Pers tentu tidak alpa dari kesalahan.
“UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan,” ungkapnya.
Dengan kebebasan pers yang kokoh, kata dia publik diuntungkan oleh adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga.
“Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi,” paparnya.
Untuk itu, Pengurus Pusat AMSI menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait, lalu jika tidak mendapat respon yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Sejak era reformasi 1998, inilah mekanisme yang telah disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media maupun kebebasan pers,” tulisnya.
2. Mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber (terutama praktek doxing atau membuka informasi pribadi) yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini.
“Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi,” tambahnya.
3. Meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online dan doxing), maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan. (Viva)
Pihak detikcom dikabarkan sudah melaporkan kasus ancaman pembunuhan terhadap jurnalisnya ini ke Mabes Polri. Mereka meminta pengamanan dari pihak Kepolisian terhadap jurnalisnya itu.
Sebelumnya, beredar kabar ancaman pembunuhan kepada jurnalis detik.com yang laporannya telah masuk Direktorat Siber Polri.
Saat dimintai informasi perihal perkembangan kejadian yang menimpa jurnalisnya, Kepala Human Capital PT Trans Digital Media, Nanang Supriyatna, belum bersedia menjelaskan lebih lanjut perihal tersebut.
“Belum ada perkembangan informasinya sejauh ini. Nanti kami informasikan kembali ya mas,” ungkapny.
Sebelumnya, sumber dari dalam detik.com membenarkan adanya ancaman pembunuhan terhadap salah satu jurnalisnya terkait dengan pemberitaan yang telah viral sejak Selasa kemarin.
Diketahui bahwa, saat ini pihak detik.com telah meminta perlindungan kepada pihak kepolisian meski belum melaporkan secara resmi ancaman pembunuhan tersebut.
AJI Jakarta: Usut Dugaan Ancaman Pembunuhan Terhadap Jurnalis Detikcom
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta meminta ancaman atau intimidasi terhadap jurnalis Detikcom harus diusut tuntas. Bahkan, diduga ada ancaman pembunuhan terhadap jurnalis Detikcom yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa, 26 Mei 2020.“Kami mendesak aparat kepolisian segera mengusut dugaan pelanggaran pidana doxing, kekerasan, maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan,” kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani pada Kamis, 28 Mei 2020 lewat rilis yang diterima VIVA.
Kemudian, Asnil mengatakan AJI Jakarta meminta pemimpin redaksi Detikcom untuk menjamin keselamatan jurnalis dan keluarganya yang terancam karena pemberitaan. Selanjutnya, Dewan Pers harus terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis.
“Menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk ikut menjaga dan mengembangkan kemerdekaan pers. Jika ada sengketa pemberitaan, silahkan diselesaikan dengan cara yang beradab yaitu meminta hak jawab atau melapor ke Dewan Pers,” ujarnya.
Asnil menjelaskan kronologi kasus tersebut, yakni bermula ketika jurnalis Detikcom menulis berita tentang rencana Presiden Jokowi akan membuka mal di Bekasi saat pandemi COVID-19. Informasi tersebut berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Namun, pernyataan Kasubbag itu diluruskan oleh Kabag Humas Pemerintah Kota Bekasi yang menyebut bahwa Presiden Jokowi hanya meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
“Klarifikasi itu pun telah dipublikasi Detikcom dalam bentuk artikel,” jelas dia.
Nah, kekerasan terhadap penulis berita dimulai di media sosial. Nama penulis yang tercantum di dalam berita pun menyebar lewat internet, dari Facebook hingga Youtube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris.
Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. Selain itu, Situs Seword juga melakukan hal serupa dengan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.
“Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet tujuannya menyerang dan melemahkan seseorang, atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers,” katanya.
Selain itu, Asnil mengatakan jurnalis tersebut juga mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojol yang membawa makanan kepadanya. Padahal, ia tak memesan makanan melalui aplikasi. Bahkan, jurnalis tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui pesan WhatsApp.
“Tampaknya pemberitaan yang tak sepaham dengan narasi pemerintah menjadi sasaran penyerangan. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” ucapnya.
Dalam Pasal 4 ayat 1-3 menjelaskan, salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Yang menghambat atau menghalangi maupun penyensoran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
AMSI Desak Sengketa Pemberitaan Selesaikan Lewat Dewan Pers
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengimbau masyarakat yang memiliki sengketa pemberitaan dengan media massa untuk menyelesaikannya melalui mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.Setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi. Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui mediasi.
Dalam rilis yang diterima VIVA, dijelaskan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Dewan Pers adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi pada media massa.
“Imbauan ini menjadi penting karena sejak Selasa 26 Mei 2020 lalu terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan Detikcom yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo. Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh,” kata Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut.
Kasus ini bermula ketika Detikcom menurunkan berita tentang rencana Jokowi membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi COVID-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB.
Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya. Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya. Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp.
Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Pers tentu tidak alpa dari kesalahan.
“UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan,” ungkapnya.
Dengan kebebasan pers yang kokoh, kata dia publik diuntungkan oleh adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga.
“Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi,” paparnya.
Untuk itu, Pengurus Pusat AMSI menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait, lalu jika tidak mendapat respon yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Sejak era reformasi 1998, inilah mekanisme yang telah disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media maupun kebebasan pers,” tulisnya.
2. Mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber (terutama praktek doxing atau membuka informasi pribadi) yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini.
“Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi,” tambahnya.
3. Meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online dan doxing), maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan. (Viva)